Ini adalah sebuah nasehat
penting bagi siapa yang diberi karunia ilmu dari Allah. Tidak semua yang Anda
tahu harus diucapkan. Sebab, setiap perkataan itu memiliki saat dan keadaan
yang tepat untuk diucapkan. Mengetahui saja tidaklah cukup. Agar pengetahuan
itu jatuh di temapat yang tepat, kita membutuhkan pemahaman. Yang terakhir,
disebut para ulama dengan isltilah fiqh.
Rasulullah
bersabda: “Barangsiapa yang dikehendaki Allah mendapatkan puncak segala
kebaikan, maka Allah akan memahamkannya terhadap dien-Nya.”
Anda mungkin pernah mendengarkan nama seorang tabi’in besar Waki’
bin Al-Jarrah. Dia adalah guru dari Imam Syafi’i. Ketika Imam Asy-Syafi’i
mengalami kesulitan menghafal, ia mengadu pada sang guru. Nasehat sang guru ini
diabadikan dalam sya’ir yang sangat terkenal:
Kumengadukan pada Waki’akan
hafalanku yang buruk
Lalu ia menasehatiku agar tinggalkan
maksiat
Karena ilmu adalah cahaya Allah
Dan cahaya itu
takkan dikaruniakan pada pelaku maksiat.
Sebab tak ada yang ma’shum selain Rasulullah, Waki’ bin Al-Jarrah
ini pernah mengalami kejadian yang sangat menakutkan akibat tergelincir dalam
sebuah masalah.
Berikut kisahnya,
ia pernah mendengarkan sebuah riwayat tentang kisah kematian Rasulullah. Kisah
itu ia riwayatkan dari seorang yang bernama Isma’il bin Abi Khalid yang
meriwayatkan dari ‘Abdullah Al-Bahiyy yang mengatakan bahwa jenazah Rasulullah
disemayamkan selama satu hari satu malam, hingga perut dan jari-jari beliau
agak membengkak.
Suatu ketika dalam
sebuah majelisnya di Mekkah, ia menyampaikan riwayat ‘Abdullah Al-Bahiyy
tersebut, sebuah riwayat yang sesungguhnya adalah riwayat yang mungkar dan munqathi’
(terputus). Akibat penyampaiannya, Mekkah pun gempar. Apalagi kalangan
orang Quraisy. Mereka berkumpul dan bersepakat untuk menyalib Waki’ yang
dianggap melecehkan Rasulullah dengan meriwayatkan kisah tersebut.
Ketika ia ditanya
kenapa ia menyampaikan riwayat itu, ia mengatakan, “Beberapa orang sahabat,
diantaranya ‘Umar bin Al-Khaththab tidak mempercayai bahwa Rasulullah mengalami
kematian. Maka, berdasarkan riwayat tersebut Allah kemudian menunjukkan kepada
mereka beberapa tanda kematian, yaitu anggota tubuh yang menjadi bengkak”
Sebuah alasan yang
sangat masuk akal. Namun, orang-orang Quraisy sudah terlanjur marah. Mereka
telah menyiapkan kayu untuk menyalib Waki’ bin Al-Jarrah. Namun, pertolongan
Allah segera menghampirinya. Disaat yang genting, muncul Sufyan bin ‘Uyainah
yang berteriak menghalangi orang Quraisy, “Demi Allah! Demi Allah! Jangan
kalian lakukan itu! Ia adalah faqihnya negeri Irak, ayahnya juga orang alim
disana. Sedangkan riwayat yang disampaikan itu adalah yang masyhur belum tentu
shahih. Aku belum pernah mendengarkan riwayat itu sebelumnya. Aku hanya ingin
menyelamatkan Waki’.”
Demikianlah kisah
Waki’ bin Al-Jarrah, guru Imam Asy-Syafi’i. seperti kata orang ahli sejarah
yang besar, Adz-Dzahaby, “Kisahnya sungguh aneh. Ia sesungguhnya bermaksud
baik. Namun sangat disayangkan saat itu kenapa ia tidak memilih diam dan tidak
menyampaikan riwayat itu. Nabi telah mengatakan: “Cukuplah menjadi dosa bagi
seorang bila ia membicarakan setiap apa yang ia dengarkan …”
Maka sebagai kata-kata hikmah, “Bila tidak semua pengetahuan pantas
terucapkan, maka tidak semua yang pantas diucapkan di setiap tempat, waktu dan
orang. Bagi yang berilmu, bersikap bijaklah.”
(Yasir, Muhammad. 2009. Engkau Lebih Cantik Dari Bulan Purnama. Jakarta:
Salsabila Kautsar Utama.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar