Merupakan keadilan Allah bahwa Dia member setiap manusia waktu 24
jam sehari. Rasulullah, Muhammad, punya waktu 24 jam sehari. Abrahah juga punya
waktu 24 jam sehari. Umar bin Al-Khaththab dan Abu Jahal juga masing-masing
punya waktu 24 jam sehari. Yang membedakan biasanya adalah hasil yang tercipta
dari 24 jam itu. Ada yang telah bebuat banyak, ada juga yang tidak menghasilkan
apa-apa. Bahkan dari waktu sedurasi itu ada yang masuk surga, ada juga yang
masuk neraka. Sekali lagi, yang membedakan adalah hasilnya.
Dari waktu 24 jam
itu, semestinya telah memiliki alokasi yang jelas. Ada waktu untuk Allah, ada
waktu untuk keluarga, ada waktu untuk bekerja,
ada waktu unutk rekreasi, ada waktu unutk sahabat, dan seterusnya. Hal yang
tidak bijak adalah jika seluruh waktu dipakai untuk rekreasi, atau untuk
keluarga, misalnya.
Disinilah
pentingnya keseimbangan dalam mengisinya. Tidak semua waktu dipakai untuk sujud
dan ruku’, karena manusia itu terdiri dari 3 unsur: akal, jasad, dan ruh, yang
masing-masing mempunyai kebutuhan. Kebutuhan akal adalah tadabbur, membaca dan
menganalisa. Kebutuhan jasad adalah makan, minum, dan istirahat. Sedang
kebutuhan ruh adalah amal saleh.
Rasulullah telah
mengajarkan umatnya untuk mengalokasikan setiap waktu sesuai pada tempatnya. Diriwayatkan
oleh Imam At-Tirmidzi dari Hanzalah, sahabat senior yang banyak menulis
hadits-hadits Rasulullah, suatu ketika ia melewati rumah Abu Bakar bertanya,
“Ada apa denganmu wahai sahabatku, Hanzalah, mengapa engkau menangis?” Hanzalah
menjawab, “Hanzalah telah dihinggapi sifat munafik, wahai Abu Bakar. Bagaimana
tidak, jikalau kita duduk di samping Rasulullah, sembari mendengarkan nasehat,
bimbingan dan petuah-petuahnya yang menyentuh hati, beliau menggambarkan kepada
kita kobaran api neraka dan menceritakan tentang surga dengan segala
keindahannya, seolah-olah Nampak dihadapan kita. Namun, apabila kita kembali
bercengkrama dan bersenda gurau dengan keluarga kita, kita tiba-tiba melupakan
kehidupan akhirat yang abadi dan banyak lupa dan kufur kepada Allah.”
Abu Bakar berkata,
“Demi Allah, akunjuga tidak berbeda denganmu, wahai Abu Hanzalah. Aku merasakan
hal yang sama. Kalau begitu, mari kita beranjak menuju rumah Rasulullah, untuk
mendiskusikan keadaan ini.” Kedua sahabat itupun mengarahkan langkah kaki
menelusuri jalan menuju rumah Rasulullah.
Rasulullah
menjemputnya dengan senyuman tulus sebagaimana layaknya menyambut seorang kawan
setia, “Ada apa denganmu, wahai Hanzalah? Mengapa engkau menangis?”
Hanzalah menjawab,
“Aku merasa dihinggapi sifat munafik, wahai Rasulullah. Bagaimana tidak, saat
duduk di sampingmu, Rasulullah, dan mendengarkan petuah dan bimbinganmu, aku
merasa demikian yakin. Namun, saat aku kembali lagi bercengkrama dan bersenda
gurau dengan keluarga kami, aku pun lupa semuanya dan kufur kepada Allah.”
Rasulullah
kemudian berkata, “Kalau seandainya kalian terus berada disisiku –untuk
diingatkan surge dan neraka- maka para malaikat pasti menghampiri
majelis-majelis dan berjabatan tangan dengan kalian. Para malaikat juga
menghampiri kalian di jalan dan di atas pembaringan. Akan tetapi, wahai
Hanzalah, saa’atan-saa’atan –segala sesuatu ada waktunya-.”
(Yasir, Muhammad. 2009. Engkau Lebih Cantik Dari Bulan Purnama. Jakarta:
Salsabila Kautsar Utama.)